Powered By Blogger

Senin, 29 Maret 2010

A. Pengertian Belajar
Adapun beberapa pendapat mengenai belajar, diantaranya ada yang menyatakan bahwa belajar itu mencari ilmu atau menuntut ilmu. Ada lagi yang mengatakan secara khusus yaitu bahwa belajar itu menggali keahlian atau keterampilan. Dalam hal ini para pakar pendidikan berbeda pendapat mengenai pengertian belajar tersebut. Perbedaan ini kalau diamati cenderung dipengaruhi oleh arah dan penekanan dari segi mana seseorang tersebut melihat hakikat belajar itu.
Menurut James Q. Whittakers yang dikutip oleh Wasty Soemanto, belajar dapat di definisikan sebagai proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman. (Wasty Soemanto, 1997: 99).
Menurut Sholeh Abdul Aziz dan Abdul Aziz Abdul Majid dalam bukunya At-Tarbiyat Wath Thuruqut Tadris, berpendapat bahwa belajar adalah :
ﻪﺳﻔﻨﺒ ﺐﺭﺠﻴﻠﻮ ﻩﺩﺤﻮ ﻞﻣﻌﻴﻠ ﻪﻤ ﺎﻬﻠﺍﻮ ﺫﻴﻤﻠﺘﻠﺍ ﺚﺣ : ﻮﻫﻢﻠﻌﺘﻟﺍ
ﺎﻳﻧ ﺪﺒ ﺎﺳﻮﺳﺣﻤ ﺍﻮﻤﻨﻭﻤﻧﻴ ﻮ ﻪﻧﻴﻌﻤ ﺪﻨ ﺍﻮﻔ ﻰﻠﻋ ﻞﺼﺤﻴ ﻰﺗﺤ
﴾۱٦٧ : ﺲﻴ ﺭﺩﺘﻠ ﺍ ﻕ ﺭﻁﻠ ﺍﻭ ﺔﻳﺒ ﺭﺗﻠ ﺍ ﴿. ﺎﻳﻘ ﻼﺧ ﺍﻮ

Menurut Hilgard and Bower (1974: 17), menyatakan bahwa belajar adalah :
Learning refers to the change in a subject’ sebagai behavior to a given situation brought about by his repeated experiences in that situation, provided that the behavior change cannot be explained on the basis of native response tendencies, maturation, or temporary state of the subject. ( e.g. Fatigue, Drugs, etc).

Menurut para ahli pendidikan modern yang dimaksud belajar itu adalah,”Suatu bentuk pertumbuhan, perubahan dalam diri seseorang yang dinyatakan dalam cara-cara bertingkah laku yang baru, berkat pengalaman dan latihan”. ( Oemar Hamalik,tth: 34)
Skinner seperti yang dikutip Barlow (1985) dalam bukunya Educational Psycology: The Teaching-Learning Process, berpendapat bahwa belajar adalah suatu proses adaptasi (penyesuaian tingkah laku) yang berlangsung secara progresif.
Chaplin (1972) dalam Dictionary of Psycology membatasi belajar dengan dua macam rumusan. Rumusan pertama berbunyi “Belajar adalah perolehan perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai akibat latihan dan pengalaman). Rumusan keduanya adalah “Belajar ialah proses memperoleh respon-respon sebagai akibat adanya latihan khusus.
Sementara menurut Hintzman (1978) dalam bukunya The Psicology of Learning and Memory berpendapat bahwa pengalaman hidup sehari-hari dalam bentuk apapun sangat memungkinkan untuk diartikan sebagai belajar. Dia beralasan, sampai batas tertentu pengalaman hidup juga berpengaruh besar terhadap pembentukan kepribadian organisme yang bersangkutan.
Biggs (1991) dalam pendahuluan Teaching for Learning:The View froms Cognitive Psycology mendefinisikan belajar dalam tiga macam rumusan, yaitu rumusan kuantitatif, rumusan institusional, rumusan kualitatif.
Secara kuantitatif (ditinjau dari sudut jumlah), belajar berarti kegiatan pengisian atau pengembangan kemampuan kognitif dengan fakta sebanyak-banyaknya. Jadi, belajar dalam hal ini dipandang dari sudut berapa banyak materi yang dikuasai anak.
Secara institusional (tinjauan kelembagaan), belajar dipandang sebagai proses validasi (pengabsahan) terhadap penguasaan anak atas materi-materi yang telah ia pelajari. Bukti institusional yang menunjukkan anak telah belajar dapat diketahui dalam hubungannya dengan proses belajar. Ukurannya ialah, semakin baik mutu mengajar yang dilakukan guru maka akan semakin baik pula mutu perolehan siswa yang kemudian dinyatakan dalam bentuk skor atau nilai.
Adapun pengertian belajar secara kualitatif (tinjauan mutu) aialah proses memperoleh arti-arti dan pemahaman-pemahaman serta cara-cara menafsirkan dunia di sekeliling anak. Belajar dalam pengertian ini difokuskan pada tercapainya daya pikir dan tindakan yang berkualitas untuk memecahkan masalah-masalah yang kini dan nanti dihadapi anak.
Bertolak dari berbagai definisi yang telah diutarakan di atas, secara umum belajar dapat dipahami sebagai tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif.
Dari beberapa pendapat di atas dapat dipahami bahwa, belajar itu pada hakekatnya bukan saja menghasilkan perubahan rohani, tetapi juga perubahan dalam cara-cara bertingkah laku. Hal ini relevan dengan pengertian belajar yang dikemukakan oleh Soepartinah, yaitu belajar adalah,”Aktivitas yang dilakukan anak berhubungan dengan adanya dorongan akan kesibukan. Dorongan tersebut membawa anak ke tingkat perkembangan yang dibutuhkan”. (Pakasi;1985: 34)
Dengan demikian dapat dilihat perbedaan penekanan pengertian, akan tetapi ada elemen-elemen yang penting yang mencirikan pengertian belajar tersebut, yaitu :
a. Belajar adalah suatu proses bentuk pertumbuhan/perkembangan, atau kegiatan yang menghendaki adanya perubahan tingkah laku seseorang serta dapat membentuk tingkah laku baru.
b. Belajar merupakan aktivitas rohani dan fisik ke arah perkembangannya.
c. Perubahan dalam belajar dilakukan dengan sengaja atau sadar dan mempunyai tujuan.
Dalam kegiatan sehari-hari proses belajar sering dibedakan orang, yaitu antara pengertian dengan proses pengajaran, belajar sendiri, belajar kelompok dan lain sebagainya. Akan tetapi yang terpenting adalah bahwa sifat rposes belajar itu pada dasarnya adalah merupakan aktivitas yang tidak terlepas dari :
a. Belajar merupakan suatu interaksi antara anak dan lingkungannya.
b. Belajar berarti berbuat.
c. Belajar adalah mengalami.
d. Belajar adalah suatu aktivitas yang bertujuan;
e. Belajar memerlukan motivasi;
f. Belajar memerlukan kesiapan pada anak. (Pakasi, 1985: 34)
B. Pembahasan Teoritis
1. Robert Gagne
Menurut Gagne belajar merupakan kegiatan yang kompleks. Hasil belajar berupa kapabilitas. Setelah belajar orang memiliki keterampilan, pengetahuan, sikap, dan nilai. Timbulnya kapabilitas tersebut adalah dari (i) stimulasi yang berasal dari lingkungan, dan (ii) proses kognitif yang dilakukan oleh pebelajar.
Dengan demikian belajar adalah seperangkat proses kognitif yang mengubah sifat stimulasi lingkungan, melewati pengolahan informasi, menjadi kapabilitas baru. Sebagai ilustrasi, siswa kelas tiga SMP mempelajari nilai luhur Pancasila. Mereka membaca berita di surat kabar tentang bencana Tsunami di Aceh dan banjir dibeberapa propinsi di Jawa. Mereka bersama-sama mengumpulkan bantuan bencana alam dari orang tua siswa SMP. Mereka mampu mengumpulkan 4 kuintal beras, 1000 potong pakaian, dan uang sebesar Rp. 15.000.000,00. Hasil bantuan tersebut kemudian mereka serahkan ke PMI yang mengkoordinasi bantuan di kota setempat. Perilaku siswa mengumpulkan sumbangan tersebut merupakan hasil belajar nilai luhur Pancasila. Hal ini merupakan dampak pengiring.
Menurut Gagne belajar terdiri dari tiga komponen penting, yaitu kondisi eksternal, kondisi internal, dan hasil belajar. Komponen tersebut dilukiskan dalam bagan berikut:
Kondisi internal belajar
Hasil belajar

Keadaan internal dan proses kognitif siswa


Informasi verbal
Keterampilan intelek
Keterampilan motorik
Sikap
Siasat kognitif


Berinteraksi dengan



Stimulus dari lingkungan

Acara pembelajaran


Kondisi eksternal belajar

Bagan di atas melukiskan hal-hal berikut:
(1) Belajar merupakan interaksi antara “keadaan internal dan proses kognitif siswa” dengan “stimulus dari lingkungan”.
(2) Proses kognitif tersebut menghasilkan suatu hasil belajar. Hasil belajar tersebut terdiri dari informasi verbal, keterampilan intelek, keterampilan motorik, sikap dan siasat kognitif.
Kelima hasil belajar tersebut merupakan kapabilitas siswa. Kapabilitas siswa tersebut berupa :
(1) Informasi verbal adalah kapabilitas untuk mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk bahasa, baik lisan maupun tertulis. Pemilikan informasi verbal memungkinkan individu berperanan dalam kehidupan.
(2) Keterampilan intelektual adalah kecakapan yang berfungsi untuk berhubungan dengan lingkungan hidup serta mempresentasikan konsep dan lambang. Keterampilan intelek ini terdiridari diskriminasi jamak, konsep konkret dan terdefinisi, dan prinsip.
(3) Strategi kognitif adalah kemampuan menyalurkan dan mengarahkan aktivitas kognitifnya sendiri. Kemampuan ini meliputi penggunaan konsep dan kaidah dalam memecahkan masalah.
(4) Keterampilan motorik adalah kemampuan melakukan serangkaian gerak jasmani dalam urusan dan koordinasi, sehingga terwujud otomatisme gerak jasmani.
(5) Sikap adalah kemampuan menerima atau menolak obyek berdasarkan penilaia terhadap obyek tersebut.
Gagne berpendapat bahwa dalam belajar terdiri dari tiga tahap yang meliputi sembilan fase. Tahapan itu sebagai berikut: (i) persiapan untuk belajar (ii) pemerolehan dan unjuk perbuatan (perfomansi), dan (iii) alih belajar. Pada tahap persiapan dilakukan tindakan mengarahkan perhatian, pengharapan dan mendapatkan kembali informasi. Pada tahap pemerolehan dan perfomansi digunakan untuk persepsi selektif, sandi semantik, pembangkitan kembali respons, serta penguatan. Tahap alih belajar meliputi pengisyaratan untuk membangkitkan, dan pemberlakuan secara umum. Adanya tahap dan fase tersebut mempermudah guru untuk melakukan pembelajaran. (Dimyati, 2002; 12)

Dalam rangka pembelajaran maka guru dapat menyusun acara pembelajaran yang cocok dengan tahap dan fase-fase belajar. Pola hubungan antara fase belajar dengan acara-acara pembelajaran dalam dilukiskan dalam tabel berikut:
Hubungan antara Fase Belajar dan Acara Pembelajaran

Perian Fase belajar Acara pembelajaran
Persiapan untuk belajar






Pemerolehan dan unjuk perbuatan




Retrival dan alih belajar a. Mengarahkan perhatian
b. Ekspektansi
c. Retrival (informasi dan keterampilan yang relevan untuk memori kerja)
d. Persepsi selektif atas sifat stimulus
e. Sandi semantik
f. Retrival dan respons
g. Penguatan
h. Pengisyaratan
i. Pemberlakuan secara umum Menarik perhatian siswa dengan kejadian yang tidak seperti biasanya, pertanyaan atau perubahan stimulus
Memberi tahu siswa mengenai tujuan belajar
Merangsang siswa agar mengingat kembali hasil belajar (apa yang telah dipelajari) sebelumnya.
Menyajikan stimulus yang jelas sifatnya.
Memberikan bimbingan belajar
Memunculkan perbuatan siswa
Memberi balikan informasi
Menilai perbuatan siswa
Meningkatkan retensi dan alih belajar.

2. Taksonomi Bloom
Tujuan belajar pada umumnya dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yakni domain kognitif, afektif dan spikomotor. Domain kognitifmencakup tujuan yang berhubungan dengan ingatan (recall, pengetahuan, dan kemampuan intelektual. Domain afektif mencakup tujuan-tujuan yang berhubungandengan perubahan-perubahan sikap, nilai, perasaan, dan minat. Domain psikomotor mencakup tujuan-tujuan yang berhubungan dengan manipulasi dan kemampuan gerak (motor). Demikian menurut Bloom (1956) dan Krathwohl (1964) dalam Taxonomy of Educational objectives.
a. Klasifikasi tujuan kognitif (Bloom, 1956)
Domain kognitif terdiri atas enam bagian sebagai berikut :
(1) Ingatan /Recall, mengacu kepada kemampuan mengenal atau mengingat materi yang sudah dipelajari daru yang sederhana sampai pada teori-teori yang sukar. Yang penting adalah kemampuan mengingat dengan benar.
(2) Pemahaman, mengacu kepada kemampuan memahami makna materi. Aspek ini satu tingkat di atas pengetahuan dan merupakan tingkat berpikir yang rendah.
(3) Penerapan, mengacu kepada kemampuan menggunakan atau menerapkan materi yang sudah dipelajari pada situasi yang baru dan menyangkut penggunaan aturan,prinsip. Penerapan merupakan tingkat kemampuan berpikir yang lebih tinggi daripada pemahaman.
(4) Analisis, mengacu kepada kemampuan menguraikan materi ke dalam komponen-komponen atau faktor penyebabnya, dan mampu memahami hubungan di antara bagian yang satu dengan yang lainnya sehingga struktur dan aturannya dapat lebih dimengerti. Analisis merupakan tingkat kemampuan berpikir yang lebih tinggi daripada aspek pemahaman maupun penerapan.
(5) Sintesis, mengacu kepada kemampuan memadukan konsep atau komponen-komponen sehingga membentuk suatu pola struktur atau bentuk baru. Aspek ini memerlukan tingkah laku yang kreatif. Sintesis merupakan kemampuan tingkat berpikiryang lebih tinggi daripada kemampuan sebelumnya.
(6) Evaluasi, mengacu kepada kemampuan memberikan pertimbangan terhadap nilai-nilai materi untuk tujuan tertentu. Evaluasi merupakan tingkat kemampuan berpikir yang tinggi.
b. Kasifikasi tujuan Afektif (Krathwohl, 1964)
Terbagi dalam lima kategori sebagai berikut:
(1) Penerimaan, mengacu kepada kesukarelaan dan kemampuan memperhatikan dan memberikan respon terhadap stimulus yang tepat. Penerimaan merupakan tingkat hasil belajar terendah dalam domain afektif.
(2) Pemberian respon, satu tingkat di atas penerimaan. Dalam hal ini siswa menjadi terlibat secara aktif, menjadi peserta dan tertarik.
(3) Penilaian, mengacu kepada nilai atau pentingnya kita menterikatkan diri pada objek atau kejadian tertentu dengan reaksi-reaksi seperti menerima, menolak, atau tidak menghiraukan. Tujuan-tujuan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi sikap dan apresiasi.
(4) Pengorganisasian, mengacu kepada penyatuan nilai. Sikap-sikap yang berbeda yang membuat lebih konsisten dapat menimbulkan konflik-konflik internal dan membentuk suatu sistem nilai internal, mencakup tingkah laku yang tercermin dalam suatu filsafat hidup.
(5) Karakterisasi, mengacu kepada karakter dan gaya hidup seseorang. Nilai-nilai sangat berkembang dengan teratur sehingga tingkah laku menjadi lebih konsisten dan lebih mudah diperkirakan. Tujuan dalam kategori ini bisa ada hubungannya dengan ketentuan pribadi, sosial dan emosi siswa.


c. Klasifikasi tujuan Psikomotor (Dave, 1970)
Terbagi dalam lima kategori sebagai berikut :
(1) Peniruan, terjadi ketika siswa mengamati suatu gerakan. Mulai memberi respon serupa dengan yang diamati. Mengurangi kordinasi dan kontrol otot-otot syaraf. Peniruan ini pada umumnya dalam bentuk global dan tidak sempurna.
(2) Manipulasi, menekankan perkembangan kemampuan mengikuti pengarahan, penampilan, gerakan-gerakan pilihan yang menetapkan suatu penampilan melalui latihan. Pada tingkat ini siswa menampilkan sesuatu menurut petunjuk-petunjuk tidak hanya meniru tingkah laku saja.
(3) Ketetapan, memerlukan kecermatan, proporsi, dan kepastian yang lebih tinggi dalam penampilan. Respons-respons lebih terkoreksi dan kesalahan-kesalahan dibatasi sampai pada tingkat minimum.
(4) Artikulasi, menekankan koordinasi suatu rangkaian gerakan dengan membuat urutan yang tepat dan mencapai apa yang diharapkan atau konsistensi internal di antara gerakan-gerakan yang berbeda.
(5) Pengalamiahan, menuntut tingkah laku yang ditampilkan dengan paling sedikit mengeluarkan energi fisik maupun psikis. Gerakannya dilakukan secara rutin. Pengalamiahan merupakan tingkat kemampuan tertinggi dalam domain psikomotorik.
3. Teori Belajar Behaviorisme ( Charles E. Skinner )
Skinner berpandangan bahwa belajar adalah suatu perilaku artinya proses penyesuaian tingkah laku ke arah yang lebih maju. Pada saat orang belajar, maka responnya menjadi lebih baik. Sebaliknya, bila ia tidak belajar maka responnya menurun. Dalam belajar ditemukan adanya hal berikut:
a. kesempatan terjadinya peristiwa yang menimbulkan respons pebelajar.
b. respons si pebelajar, dan
c. konsekuensi yang bersifat menguatkan respons tersebut. Pemerkuat terjadi pada stimulus yang menguatkan konsekuensi tersebut. Sebagai ilustrasi, perilaku respons si pebelajar yang baik diberi hadiah. Sebaliknya, perilaku respons yang tidak baik diberi teguran dan hukuman.
4. Teori Belajar Kognitif (Jean Piaget)
Piaget berpendapat bahwa pengetahuan dibentuk oleh individu. Sebab individu melakukan interaksi terus menerus dengan lingkungan. Lingkungan tersebut mengalami perubahan. Dengan adanya interaksi dengan lingkungan maka fungsi intelek semakin berkembang.
Perkembangan intelektual melalui tahap-tahap berikut: (i) sensorik motor (0;0-2;0 tahun), (ii) pra-operasional (2;0 – 7;0 tahun), (iii) operasional konkret (7;0 – 11;0 tahun), dan (iv) operasi formal (11;0 – ke atas).
Pada tahap sensori motor anak mengenal lingkungan dengan kemampuan snsorik dan motorik. Anak mengenal lingkungan dengan penglihatan, penciuman, pendengaran, perabaan dan menggerak-gerakkannya. Pada tahap pra-operasional, anak mengandalkan diri pada persepsi tentang realitas. Ia telah mampu menggunakan simbol, bahasa, konsep sederhana, berpartisipasi, membuat gambar, dan menggolong-golongkan. Pada tahap operasi konkret anak dapat mengembangkan pikiran logis. Ia dapat mengikuti penalaran logis, walau kadang-kadang memecahkan masalah secara ‘trial and error”. Pada tahap operasi formal anak dapat berpikir abstrak seperti pada orang dewasa.
Pengetahuan dibangun dalam pikiran. Setiap individu membangun sendiri pengetahuannya. Pengetahuan yang dibangun terdiri dari tiga bentuk, yaitu pengetahuan fisik, pengetahuan logika-matematik, dan pengetahuan sosial.
Belajar pengetahuan meliputi tiga fase. Fase-fase itu adalah fase eksplorasi, pengenalan konsep, dan aplikasi konsep. Dalam fase eksplorasi, anak mempelajari gejala dengan bimbingan. Dalam fase pengenalan konsep, anak mengenal konsep yang ada hubungannya dengan gejala. Dalam fase aplikasi konsep, anak menggunakan konsep untuk meneliti gejala lain lebih lanjut.
Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pengajaran, antara lain:
(1) Bahasa dan cara berpikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu dalam mengajar, guru hendaknya menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berpikir anak.
(2) Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu agar anak dapat berinteraksi dengan lingkungan dengan sebaik-baiknya.
(3) Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya sesuai dengan peringkat perkembangannya.
(4) Di dalam kelas, anak-anak hendaknya banyak diberi peluang untuk saling berbicara dengan teman-temannya dan saling berdiskusi.
Secara singkat, Piaget menyarankan agar dalam pembelajaran guru memilih masalah yang berciri prediksi, eksperimentasi, dan eksplanasi.

5. Belajar menurut Rogers
Rogers menyayangkan praktek pendidikan di sekolah tahun 1960-an. Menurut pendapatnya, praktek pendidikan menitik beratkan pada segi pengajaran, bukan pada siswa yang belajar. Praktek tersebut ditandai oleh peran guru yang dominan dan siswa hanya menghafalkan pelajaran.
Rogers mengemukakan pentingnya guru memperhatikan prinsip pendidikan. Prinsip pendidikan dan pembelajaran tersebut sebagai berikut:
(1) menjadi manusia berarti memiliki kekuatan wajar untuk belajar. Siswa tidak harus belajar tentang hal-hal yang tidak ada artinya.
(2) Siswa akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya.
(3) Pengorganisasian bahan pelajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru, sebagaibagian yang bermakna bagi siswa.
(4) Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar tentang proses-proses belajar, keterbukaan belajar mengalami sesuatu, bekerja sama dengan melakukan pengubahan diri terus-menerus.
(5) Belajar yang optimal akan terjadi, bila siswa berpartisipasi secara bertanggung jawab dalam proses belajar.
(6) Belajar mengalami (experiential learning) dapat terjadi, bila siswa mengevaluasi dirinya sendiri. Belajar mengalami dapat memberi peluang untuk belajar kreatif, self evaluation dan kritik diri. Hal ini berarti bahwa evaluasi dari instruktur bersifat sekunder.
(7) Belajar mengalami menuntut keterlibatan siswa secara penuh dan sungguh-sungguh.
Rogers mengemukakan saran tentang langkah-langkah pembelajaran yang perlu dilakukan guru. Saran pembelajaran itu meliputi hal berikut:
(1) Guru memberi kepercayaan kepada kelas agar kelas memilih belajar secara terstruktur.
(2) Guru dan siswa membuat kontrak belajar.
(3) Guru menggunakan metode inkuiri, atau belajar menemukan.
(4) Guru menggunakan metode simulasi.
(5) Guru mengadakan latihan kepekaan agar siswa mampu menghayati perasaan dan berpartisipasidengan kelompok lain.
(6) Guru bertindak sebagai fasilitator belajar.
(7) Sebaiknya guru menggunakan pengajaran berprogram, agar tercipta peluang bagi siswa untuk timbulnya kreativitas. (Dimyati; 2002; 17)
6. Teori Belajar Gestalt
Menurut para ahli psikologi Gestalt, manusia itu bukanlah hanya sekedar makhluk reaksi yang hanya berbuat atau beraksi jika ada perangsang yang mempengaruhinya. Manusia itu adalah individu yang merupakan kebulatan jasmani-rohani. Sebagai individu manusia bereaksi-atau lebih tepay berinteraksi dengan dunia luar dengan kepribadiannya dan dengan caranya yang unik pula. Rekasi manusia terhadap dunia luar tergantung kepada bagaimana ia menerima stimulus dan bagaimana serta apa motif-motif yang ada padanya. Manusia adalah makhluk yang mempunyai kebebasan. Ia bebas memilih cara bagaimana ia bereaksi dan stimulus yang mana diterimanya dan mana yang ditolaknya.
Dengan demikian maka belajar menurut psikologi Gestalt bukan hanya sekedar merupakan proses asosiasi antara stimulus-respon yang makin lama makin kuat karena adanya latihan-latihan atau ulangan-ulangan.
(1) Belajar menurut teori ini terjadi jika ada pengertian. Pengertian ini muncul apabila seseorang setelah beberapa saat mencoba memahami suatu masalah, tiba-tiba muncul adanya kejelasan, terlihat olehnya hubungan antara unsur-unsur yang satu dengan yang lain.
(2) Belajar adalah suatu proses rentetan penemuan dengan bantuan pengalaman-pengalaman yang sudah ada. Manusia belajar memahami dunia sekitarnya dengan jalan mengatur, menyusun kembali pengalaman-pengalamannya yang banyak dan berserakan menjadi suatu struktur dan kebudayaan yang berarti dan dipahami olehnya.
A. Pengertian Belajar
Adapun beberapa pendapat mengenai belajar, diantaranya ada yang menyatakan bahwa belajar itu mencari ilmu atau menuntut ilmu. Ada lagi yang mengatakan secara khusus yaitu bahwa belajar itu menggali keahlian atau keterampilan. Dalam hal ini para pakar pendidikan berbeda pendapat mengenai pengertian belajar tersebut. Perbedaan ini kalau diamati cenderung dipengaruhi oleh arah dan penekanan dari segi mana seseorang tersebut melihat hakikat belajar itu.
Menurut James Q. Whittakers yang dikutip oleh Wasty Soemanto, belajar dapat di definisikan sebagai proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman. (Wasty Soemanto, 1997: 99).
Menurut Sholeh Abdul Aziz dan Abdul Aziz Abdul Majid dalam bukunya At-Tarbiyat Wath Thuruqut Tadris, berpendapat bahwa belajar adalah :
ﻪﺳﻔﻨﺒ ﺐﺭﺠﻴﻠﻮ ﻩﺩﺤﻮ ﻞﻣﻌﻴﻠ ﻪﻤ ﺎﻬﻠﺍﻮ ﺫﻴﻤﻠﺘﻠﺍ ﺚﺣ : ﻮﻫﻢﻠﻌﺘﻟﺍ
ﺎﻳﻧ ﺪﺒ ﺎﺳﻮﺳﺣﻤ ﺍﻮﻤﻨﻭﻤﻧﻴ ﻮ ﻪﻧﻴﻌﻤ ﺪﻨ ﺍﻮﻔ ﻰﻠﻋ ﻞﺼﺤﻴ ﻰﺗﺤ
﴾۱٦٧ : ﺲﻴ ﺭﺩﺘﻠ ﺍ ﻕ ﺭﻁﻠ ﺍﻭ ﺔﻳﺒ ﺭﺗﻠ ﺍ ﴿. ﺎﻳﻘ ﻼﺧ ﺍﻮ

Menurut Hilgard and Bower (1974: 17), menyatakan bahwa belajar adalah :
Learning refers to the change in a subject’ sebagai behavior to a given situation brought about by his repeated experiences in that situation, provided that the behavior change cannot be explained on the basis of native response tendencies, maturation, or temporary state of the subject. ( e.g. Fatigue, Drugs, etc).

Menurut para ahli pendidikan modern yang dimaksud belajar itu adalah,”Suatu bentuk pertumbuhan, perubahan dalam diri seseorang yang dinyatakan dalam cara-cara bertingkah laku yang baru, berkat pengalaman dan latihan”. ( Oemar Hamalik,tth: 34)
Skinner seperti yang dikutip Barlow (1985) dalam bukunya Educational Psycology: The Teaching-Learning Process, berpendapat bahwa belajar adalah suatu proses adaptasi (penyesuaian tingkah laku) yang berlangsung secara progresif.
Chaplin (1972) dalam Dictionary of Psycology membatasi belajar dengan dua macam rumusan. Rumusan pertama berbunyi “Belajar adalah perolehan perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai akibat latihan dan pengalaman). Rumusan keduanya adalah “Belajar ialah proses memperoleh respon-respon sebagai akibat adanya latihan khusus.
Sementara menurut Hintzman (1978) dalam bukunya The Psicology of Learning and Memory berpendapat bahwa pengalaman hidup sehari-hari dalam bentuk apapun sangat memungkinkan untuk diartikan sebagai belajar. Dia beralasan, sampai batas tertentu pengalaman hidup juga berpengaruh besar terhadap pembentukan kepribadian organisme yang bersangkutan.
Biggs (1991) dalam pendahuluan Teaching for Learning:The View froms Cognitive Psycology mendefinisikan belajar dalam tiga macam rumusan, yaitu rumusan kuantitatif, rumusan institusional, rumusan kualitatif.
Secara kuantitatif (ditinjau dari sudut jumlah), belajar berarti kegiatan pengisian atau pengembangan kemampuan kognitif dengan fakta sebanyak-banyaknya. Jadi, belajar dalam hal ini dipandang dari sudut berapa banyak materi yang dikuasai anak.
Secara institusional (tinjauan kelembagaan), belajar dipandang sebagai proses validasi (pengabsahan) terhadap penguasaan anak atas materi-materi yang telah ia pelajari. Bukti institusional yang menunjukkan anak telah belajar dapat diketahui dalam hubungannya dengan proses belajar. Ukurannya ialah, semakin baik mutu mengajar yang dilakukan guru maka akan semakin baik pula mutu perolehan siswa yang kemudian dinyatakan dalam bentuk skor atau nilai.
Adapun pengertian belajar secara kualitatif (tinjauan mutu) aialah proses memperoleh arti-arti dan pemahaman-pemahaman serta cara-cara menafsirkan dunia di sekeliling anak. Belajar dalam pengertian ini difokuskan pada tercapainya daya pikir dan tindakan yang berkualitas untuk memecahkan masalah-masalah yang kini dan nanti dihadapi anak.
Bertolak dari berbagai definisi yang telah diutarakan di atas, secara umum belajar dapat dipahami sebagai tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif.
Dari beberapa pendapat di atas dapat dipahami bahwa, belajar itu pada hakekatnya bukan saja menghasilkan perubahan rohani, tetapi juga perubahan dalam cara-cara bertingkah laku. Hal ini relevan dengan pengertian belajar yang dikemukakan oleh Soepartinah, yaitu belajar adalah,”Aktivitas yang dilakukan anak berhubungan dengan adanya dorongan akan kesibukan. Dorongan tersebut membawa anak ke tingkat perkembangan yang dibutuhkan”. (Pakasi;1985: 34)
Dengan demikian dapat dilihat perbedaan penekanan pengertian, akan tetapi ada elemen-elemen yang penting yang mencirikan pengertian belajar tersebut, yaitu :
a. Belajar adalah suatu proses bentuk pertumbuhan/perkembangan, atau kegiatan yang menghendaki adanya perubahan tingkah laku seseorang serta dapat membentuk tingkah laku baru.
b. Belajar merupakan aktivitas rohani dan fisik ke arah perkembangannya.
c. Perubahan dalam belajar dilakukan dengan sengaja atau sadar dan mempunyai tujuan.
Dalam kegiatan sehari-hari proses belajar sering dibedakan orang, yaitu antara pengertian dengan proses pengajaran, belajar sendiri, belajar kelompok dan lain sebagainya. Akan tetapi yang terpenting adalah bahwa sifat rposes belajar itu pada dasarnya adalah merupakan aktivitas yang tidak terlepas dari :
a. Belajar merupakan suatu interaksi antara anak dan lingkungannya.
b. Belajar berarti berbuat.
c. Belajar adalah mengalami.
d. Belajar adalah suatu aktivitas yang bertujuan;
e. Belajar memerlukan motivasi;
f. Belajar memerlukan kesiapan pada anak. (Pakasi, 1985: 34)
B. Pembahasan Teoritis
1. Robert Gagne
Menurut Gagne belajar merupakan kegiatan yang kompleks. Hasil belajar berupa kapabilitas. Setelah belajar orang memiliki keterampilan, pengetahuan, sikap, dan nilai. Timbulnya kapabilitas tersebut adalah dari (i) stimulasi yang berasal dari lingkungan, dan (ii) proses kognitif yang dilakukan oleh pebelajar.
Dengan demikian belajar adalah seperangkat proses kognitif yang mengubah sifat stimulasi lingkungan, melewati pengolahan informasi, menjadi kapabilitas baru. Sebagai ilustrasi, siswa kelas tiga SMP mempelajari nilai luhur Pancasila. Mereka membaca berita di surat kabar tentang bencana Tsunami di Aceh dan banjir dibeberapa propinsi di Jawa. Mereka bersama-sama mengumpulkan bantuan bencana alam dari orang tua siswa SMP. Mereka mampu mengumpulkan 4 kuintal beras, 1000 potong pakaian, dan uang sebesar Rp. 15.000.000,00. Hasil bantuan tersebut kemudian mereka serahkan ke PMI yang mengkoordinasi bantuan di kota setempat. Perilaku siswa mengumpulkan sumbangan tersebut merupakan hasil belajar nilai luhur Pancasila. Hal ini merupakan dampak pengiring.
Menurut Gagne belajar terdiri dari tiga komponen penting, yaitu kondisi eksternal, kondisi internal, dan hasil belajar. Komponen tersebut dilukiskan dalam bagan berikut:
Kondisi internal belajar
Hasil belajar

Keadaan internal dan proses kognitif siswa


Informasi verbal
Keterampilan intelek
Keterampilan motorik
Sikap
Siasat kognitif


Berinteraksi dengan



Stimulus dari lingkungan

Acara pembelajaran


Kondisi eksternal belajar

Bagan di atas melukiskan hal-hal berikut:
(1) Belajar merupakan interaksi antara “keadaan internal dan proses kognitif siswa” dengan “stimulus dari lingkungan”.
(2) Proses kognitif tersebut menghasilkan suatu hasil belajar. Hasil belajar tersebut terdiri dari informasi verbal, keterampilan intelek, keterampilan motorik, sikap dan siasat kognitif.
Kelima hasil belajar tersebut merupakan kapabilitas siswa. Kapabilitas siswa tersebut berupa :
(1) Informasi verbal adalah kapabilitas untuk mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk bahasa, baik lisan maupun tertulis. Pemilikan informasi verbal memungkinkan individu berperanan dalam kehidupan.
(2) Keterampilan intelektual adalah kecakapan yang berfungsi untuk berhubungan dengan lingkungan hidup serta mempresentasikan konsep dan lambang. Keterampilan intelek ini terdiridari diskriminasi jamak, konsep konkret dan terdefinisi, dan prinsip.
(3) Strategi kognitif adalah kemampuan menyalurkan dan mengarahkan aktivitas kognitifnya sendiri. Kemampuan ini meliputi penggunaan konsep dan kaidah dalam memecahkan masalah.
(4) Keterampilan motorik adalah kemampuan melakukan serangkaian gerak jasmani dalam urusan dan koordinasi, sehingga terwujud otomatisme gerak jasmani.
(5) Sikap adalah kemampuan menerima atau menolak obyek berdasarkan penilaia terhadap obyek tersebut.
Gagne berpendapat bahwa dalam belajar terdiri dari tiga tahap yang meliputi sembilan fase. Tahapan itu sebagai berikut: (i) persiapan untuk belajar (ii) pemerolehan dan unjuk perbuatan (perfomansi), dan (iii) alih belajar. Pada tahap persiapan dilakukan tindakan mengarahkan perhatian, pengharapan dan mendapatkan kembali informasi. Pada tahap pemerolehan dan perfomansi digunakan untuk persepsi selektif, sandi semantik, pembangkitan kembali respons, serta penguatan. Tahap alih belajar meliputi pengisyaratan untuk membangkitkan, dan pemberlakuan secara umum. Adanya tahap dan fase tersebut mempermudah guru untuk melakukan pembelajaran. (Dimyati, 2002; 12)

Dalam rangka pembelajaran maka guru dapat menyusun acara pembelajaran yang cocok dengan tahap dan fase-fase belajar. Pola hubungan antara fase belajar dengan acara-acara pembelajaran dalam dilukiskan dalam tabel berikut:
Hubungan antara Fase Belajar dan Acara Pembelajaran

Perian Fase belajar Acara pembelajaran
Persiapan untuk belajar






Pemerolehan dan unjuk perbuatan




Retrival dan alih belajar a. Mengarahkan perhatian
b. Ekspektansi
c. Retrival (informasi dan keterampilan yang relevan untuk memori kerja)
d. Persepsi selektif atas sifat stimulus
e. Sandi semantik
f. Retrival dan respons
g. Penguatan
h. Pengisyaratan
i. Pemberlakuan secara umum Menarik perhatian siswa dengan kejadian yang tidak seperti biasanya, pertanyaan atau perubahan stimulus
Memberi tahu siswa mengenai tujuan belajar
Merangsang siswa agar mengingat kembali hasil belajar (apa yang telah dipelajari) sebelumnya.
Menyajikan stimulus yang jelas sifatnya.
Memberikan bimbingan belajar
Memunculkan perbuatan siswa
Memberi balikan informasi
Menilai perbuatan siswa
Meningkatkan retensi dan alih belajar.

2. Taksonomi Bloom
Tujuan belajar pada umumnya dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yakni domain kognitif, afektif dan spikomotor. Domain kognitifmencakup tujuan yang berhubungan dengan ingatan (recall, pengetahuan, dan kemampuan intelektual. Domain afektif mencakup tujuan-tujuan yang berhubungandengan perubahan-perubahan sikap, nilai, perasaan, dan minat. Domain psikomotor mencakup tujuan-tujuan yang berhubungan dengan manipulasi dan kemampuan gerak (motor). Demikian menurut Bloom (1956) dan Krathwohl (1964) dalam Taxonomy of Educational objectives.
a. Klasifikasi tujuan kognitif (Bloom, 1956)
Domain kognitif terdiri atas enam bagian sebagai berikut :
(1) Ingatan /Recall, mengacu kepada kemampuan mengenal atau mengingat materi yang sudah dipelajari daru yang sederhana sampai pada teori-teori yang sukar. Yang penting adalah kemampuan mengingat dengan benar.
(2) Pemahaman, mengacu kepada kemampuan memahami makna materi. Aspek ini satu tingkat di atas pengetahuan dan merupakan tingkat berpikir yang rendah.
(3) Penerapan, mengacu kepada kemampuan menggunakan atau menerapkan materi yang sudah dipelajari pada situasi yang baru dan menyangkut penggunaan aturan,prinsip. Penerapan merupakan tingkat kemampuan berpikir yang lebih tinggi daripada pemahaman.
(4) Analisis, mengacu kepada kemampuan menguraikan materi ke dalam komponen-komponen atau faktor penyebabnya, dan mampu memahami hubungan di antara bagian yang satu dengan yang lainnya sehingga struktur dan aturannya dapat lebih dimengerti. Analisis merupakan tingkat kemampuan berpikir yang lebih tinggi daripada aspek pemahaman maupun penerapan.
(5) Sintesis, mengacu kepada kemampuan memadukan konsep atau komponen-komponen sehingga membentuk suatu pola struktur atau bentuk baru. Aspek ini memerlukan tingkah laku yang kreatif. Sintesis merupakan kemampuan tingkat berpikiryang lebih tinggi daripada kemampuan sebelumnya.
(6) Evaluasi, mengacu kepada kemampuan memberikan pertimbangan terhadap nilai-nilai materi untuk tujuan tertentu. Evaluasi merupakan tingkat kemampuan berpikir yang tinggi.
b. Kasifikasi tujuan Afektif (Krathwohl, 1964)
Terbagi dalam lima kategori sebagai berikut:
(1) Penerimaan, mengacu kepada kesukarelaan dan kemampuan memperhatikan dan memberikan respon terhadap stimulus yang tepat. Penerimaan merupakan tingkat hasil belajar terendah dalam domain afektif.
(2) Pemberian respon, satu tingkat di atas penerimaan. Dalam hal ini siswa menjadi terlibat secara aktif, menjadi peserta dan tertarik.
(3) Penilaian, mengacu kepada nilai atau pentingnya kita menterikatkan diri pada objek atau kejadian tertentu dengan reaksi-reaksi seperti menerima, menolak, atau tidak menghiraukan. Tujuan-tujuan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi sikap dan apresiasi.
(4) Pengorganisasian, mengacu kepada penyatuan nilai. Sikap-sikap yang berbeda yang membuat lebih konsisten dapat menimbulkan konflik-konflik internal dan membentuk suatu sistem nilai internal, mencakup tingkah laku yang tercermin dalam suatu filsafat hidup.
(5) Karakterisasi, mengacu kepada karakter dan gaya hidup seseorang. Nilai-nilai sangat berkembang dengan teratur sehingga tingkah laku menjadi lebih konsisten dan lebih mudah diperkirakan. Tujuan dalam kategori ini bisa ada hubungannya dengan ketentuan pribadi, sosial dan emosi siswa.


c. Klasifikasi tujuan Psikomotor (Dave, 1970)
Terbagi dalam lima kategori sebagai berikut :
(1) Peniruan, terjadi ketika siswa mengamati suatu gerakan. Mulai memberi respon serupa dengan yang diamati. Mengurangi kordinasi dan kontrol otot-otot syaraf. Peniruan ini pada umumnya dalam bentuk global dan tidak sempurna.
(2) Manipulasi, menekankan perkembangan kemampuan mengikuti pengarahan, penampilan, gerakan-gerakan pilihan yang menetapkan suatu penampilan melalui latihan. Pada tingkat ini siswa menampilkan sesuatu menurut petunjuk-petunjuk tidak hanya meniru tingkah laku saja.
(3) Ketetapan, memerlukan kecermatan, proporsi, dan kepastian yang lebih tinggi dalam penampilan. Respons-respons lebih terkoreksi dan kesalahan-kesalahan dibatasi sampai pada tingkat minimum.
(4) Artikulasi, menekankan koordinasi suatu rangkaian gerakan dengan membuat urutan yang tepat dan mencapai apa yang diharapkan atau konsistensi internal di antara gerakan-gerakan yang berbeda.
(5) Pengalamiahan, menuntut tingkah laku yang ditampilkan dengan paling sedikit mengeluarkan energi fisik maupun psikis. Gerakannya dilakukan secara rutin. Pengalamiahan merupakan tingkat kemampuan tertinggi dalam domain psikomotorik.
3. Teori Belajar Behaviorisme ( Charles E. Skinner )
Skinner berpandangan bahwa belajar adalah suatu perilaku artinya proses penyesuaian tingkah laku ke arah yang lebih maju. Pada saat orang belajar, maka responnya menjadi lebih baik. Sebaliknya, bila ia tidak belajar maka responnya menurun. Dalam belajar ditemukan adanya hal berikut:
a. kesempatan terjadinya peristiwa yang menimbulkan respons pebelajar.
b. respons si pebelajar, dan
c. konsekuensi yang bersifat menguatkan respons tersebut. Pemerkuat terjadi pada stimulus yang menguatkan konsekuensi tersebut. Sebagai ilustrasi, perilaku respons si pebelajar yang baik diberi hadiah. Sebaliknya, perilaku respons yang tidak baik diberi teguran dan hukuman.
4. Teori Belajar Kognitif (Jean Piaget)
Piaget berpendapat bahwa pengetahuan dibentuk oleh individu. Sebab individu melakukan interaksi terus menerus dengan lingkungan. Lingkungan tersebut mengalami perubahan. Dengan adanya interaksi dengan lingkungan maka fungsi intelek semakin berkembang.
Perkembangan intelektual melalui tahap-tahap berikut: (i) sensorik motor (0;0-2;0 tahun), (ii) pra-operasional (2;0 – 7;0 tahun), (iii) operasional konkret (7;0 – 11;0 tahun), dan (iv) operasi formal (11;0 – ke atas).
Pada tahap sensori motor anak mengenal lingkungan dengan kemampuan snsorik dan motorik. Anak mengenal lingkungan dengan penglihatan, penciuman, pendengaran, perabaan dan menggerak-gerakkannya. Pada tahap pra-operasional, anak mengandalkan diri pada persepsi tentang realitas. Ia telah mampu menggunakan simbol, bahasa, konsep sederhana, berpartisipasi, membuat gambar, dan menggolong-golongkan. Pada tahap operasi konkret anak dapat mengembangkan pikiran logis. Ia dapat mengikuti penalaran logis, walau kadang-kadang memecahkan masalah secara ‘trial and error”. Pada tahap operasi formal anak dapat berpikir abstrak seperti pada orang dewasa.
Pengetahuan dibangun dalam pikiran. Setiap individu membangun sendiri pengetahuannya. Pengetahuan yang dibangun terdiri dari tiga bentuk, yaitu pengetahuan fisik, pengetahuan logika-matematik, dan pengetahuan sosial.
Belajar pengetahuan meliputi tiga fase. Fase-fase itu adalah fase eksplorasi, pengenalan konsep, dan aplikasi konsep. Dalam fase eksplorasi, anak mempelajari gejala dengan bimbingan. Dalam fase pengenalan konsep, anak mengenal konsep yang ada hubungannya dengan gejala. Dalam fase aplikasi konsep, anak menggunakan konsep untuk meneliti gejala lain lebih lanjut.
Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pengajaran, antara lain:
(1) Bahasa dan cara berpikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu dalam mengajar, guru hendaknya menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berpikir anak.
(2) Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu agar anak dapat berinteraksi dengan lingkungan dengan sebaik-baiknya.
(3) Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya sesuai dengan peringkat perkembangannya.
(4) Di dalam kelas, anak-anak hendaknya banyak diberi peluang untuk saling berbicara dengan teman-temannya dan saling berdiskusi.
Secara singkat, Piaget menyarankan agar dalam pembelajaran guru memilih masalah yang berciri prediksi, eksperimentasi, dan eksplanasi.

5. Belajar menurut Rogers
Rogers menyayangkan praktek pendidikan di sekolah tahun 1960-an. Menurut pendapatnya, praktek pendidikan menitik beratkan pada segi pengajaran, bukan pada siswa yang belajar. Praktek tersebut ditandai oleh peran guru yang dominan dan siswa hanya menghafalkan pelajaran.
Rogers mengemukakan pentingnya guru memperhatikan prinsip pendidikan. Prinsip pendidikan dan pembelajaran tersebut sebagai berikut:
(1) menjadi manusia berarti memiliki kekuatan wajar untuk belajar. Siswa tidak harus belajar tentang hal-hal yang tidak ada artinya.
(2) Siswa akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya.
(3) Pengorganisasian bahan pelajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru, sebagaibagian yang bermakna bagi siswa.
(4) Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar tentang proses-proses belajar, keterbukaan belajar mengalami sesuatu, bekerja sama dengan melakukan pengubahan diri terus-menerus.
(5) Belajar yang optimal akan terjadi, bila siswa berpartisipasi secara bertanggung jawab dalam proses belajar.
(6) Belajar mengalami (experiential learning) dapat terjadi, bila siswa mengevaluasi dirinya sendiri. Belajar mengalami dapat memberi peluang untuk belajar kreatif, self evaluation dan kritik diri. Hal ini berarti bahwa evaluasi dari instruktur bersifat sekunder.
(7) Belajar mengalami menuntut keterlibatan siswa secara penuh dan sungguh-sungguh.
Rogers mengemukakan saran tentang langkah-langkah pembelajaran yang perlu dilakukan guru. Saran pembelajaran itu meliputi hal berikut:
(1) Guru memberi kepercayaan kepada kelas agar kelas memilih belajar secara terstruktur.
(2) Guru dan siswa membuat kontrak belajar.
(3) Guru menggunakan metode inkuiri, atau belajar menemukan.
(4) Guru menggunakan metode simulasi.
(5) Guru mengadakan latihan kepekaan agar siswa mampu menghayati perasaan dan berpartisipasidengan kelompok lain.
(6) Guru bertindak sebagai fasilitator belajar.
(7) Sebaiknya guru menggunakan pengajaran berprogram, agar tercipta peluang bagi siswa untuk timbulnya kreativitas. (Dimyati; 2002; 17)
6. Teori Belajar Gestalt
Menurut para ahli psikologi Gestalt, manusia itu bukanlah hanya sekedar makhluk reaksi yang hanya berbuat atau beraksi jika ada perangsang yang mempengaruhinya. Manusia itu adalah individu yang merupakan kebulatan jasmani-rohani. Sebagai individu manusia bereaksi-atau lebih tepay berinteraksi dengan dunia luar dengan kepribadiannya dan dengan caranya yang unik pula. Rekasi manusia terhadap dunia luar tergantung kepada bagaimana ia menerima stimulus dan bagaimana serta apa motif-motif yang ada padanya. Manusia adalah makhluk yang mempunyai kebebasan. Ia bebas memilih cara bagaimana ia bereaksi dan stimulus yang mana diterimanya dan mana yang ditolaknya.
Dengan demikian maka belajar menurut psikologi Gestalt bukan hanya sekedar merupakan proses asosiasi antara stimulus-respon yang makin lama makin kuat karena adanya latihan-latihan atau ulangan-ulangan.
(1) Belajar menurut teori ini terjadi jika ada pengertian. Pengertian ini muncul apabila seseorang setelah beberapa saat mencoba memahami suatu masalah, tiba-tiba muncul adanya kejelasan, terlihat olehnya hubungan antara unsur-unsur yang satu dengan yang lain.
(2) Belajar adalah suatu proses rentetan penemuan dengan bantuan pengalaman-pengalaman yang sudah ada. Manusia belajar memahami dunia sekitarnya dengan jalan mengatur, menyusun kembali pengalaman-pengalamannya yang banyak dan berserakan menjadi suatu struktur dan kebudayaan yang berarti dan dipahami olehnya.